Text
Jurnal demokrasi Volume 2 No. 6 Sesat Pikir Otonomi Daerah
berdasarkan pengalaman lima tahun terakhir ini tergambar masih belum ada "niat" yang sungguh-sungguh, baik dari badan eksekutif maupun legislatif di daerah untuk mengelola kekayaan alam demi kemakmuran hajat hidup rakyat. Seharusnya dengan pelimpahan wewenang, maka daerah akan mengelola potensi kekayaan alamnya dengan sebaik-baiknya demi rakyat di daerah yang bersangkutan. Namun, yang terjadi adalah segala penyakit yang tadinya ada di pemerintah pusat beralih ke pemerintah daerah. Sama seperti masa sewaktu sentralisasi, semangat terbesarnya adalah mengeksploitasi. Kekayaan alam dipandang sebagai sumber untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) setinggi-tingginya demi jalannya roda pemerintahan dan pembangunan di daerahnya.
Salah tafsir, atau lebih tepatnya sesat pikir, otonomi daerah ini kemudian memicu desakan berbagai kalangan untuk merevisi Undang-Undang Otonomi Daerah. Departemen Dalam Negeri dan DPR RI pun dengan cepat menanggapi hal ini dengan mengeluarkan naskah revisinya masing-masing. Namun, lagi-lagi naskah revisi mereka sangat jelas meletakkan demokrasi dan desentralisasi dalam dua ranah yang terpisah. Dalam naskah revisi UU No. 22 Tahun 1999 versi DPR terlihat jelas ambisi untuk menekankan pada sisi elektoralisme, tanpa dijumpai upaya yang serius untuk mengatasi kompleksitas persoalan desentralisasi yang dihadapi lima tahun terakhir ini. Segalanya seolah-olah akan beres dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Padahal, sistem pemilihan secara langsung itu tidak akan berarti apabila ruang yang tersedia bagi daerah dalam mengambil keputusan-keputusan politis menjadi amat terbatas akibat tidak bekerjanya desentralisasi.
Sebaliknya, naskah yang disusun oleh Departemen Dalam Negeri lebih memperhatikan pengaturan administratif tata hubungan pusat-daerah, tanpa menyinggung relevansi desentralisasi sebagai bagian demokratisasi politik dalam aras vertikal. Dalam naskah Depdagri justru terjangkit sindrom resentralisasi. Depdagri tidak tanggung-tanggung untuk melakukan revisi atas UU No. 22 Tahun 1999, dengan menggelar naskah yang sangat komprehensif. Sindrom resentralisasi tentu lebih berbahaya karena di samping akan menarik kembali ruang-ruang otonomi, juga akan mematikan demokrasi di level lokal. Dalam naskah revisi versi Depdagri, desentralisasi diartikan penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada Daerah Otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Pergeseran pemaknaan desentralisasi ini menentukan paradigma politik desentralisasi yang akan diterapkan. Dalam pemaknaan desentralisasi ini sebagai penyerahan penanganan urusan pemerintahan, merupakan reduksi terhadap desentralisasi politik menjadi desentralisasiadministratif. Konsekuensi dari diterapkannya desentralisasi administratif adalah proses desentralisasi yang hanya terjadi dalam tubuh birokrasi-negara (intergoverment decentralization) serta akan sangat ditentukan oleh kemurahan hati pemerintah pusat. Lalu, bagaimana masa depan otonomi daerah pasca terpilihnya DPRD dan pemerintah dan pemerintahan baru?
6.JD2-6 | My Library (Lemari A4) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain